Tadi siang menghadapi macet di daerah Pasar Kranji. biasanya kemacetan di sini bisa sepanjang hampir satu kilometer, tapi kebetulan hari ini hanya sekitar 200m. Seorang penumpang bertanya, "Macet, ya, Bang?" si abang supir pun menjawab, "Ini mah dikit, Bu." Ibu tersebut langsung turun. Mungkin ibu tadi tidak terbiasa menghadapi macet yang panjang, sehingga macet 200m pun sudah dianggapnya terlalu panjang hingga ia turun. Si Abang Supir yang terbiasa menghadapi macet hingga hitungan km, merasa bersyukur karena macet kali ini sangat pendek jaraknya.
Saya jadi teringat cerita ibu saya mengenai salah seorang sahabatnya yang sudah sukses menjadi pengusaha. Sahabatnya itu menginap di salah satu hotel berbintang di Solo. Sang sahabat ini sangat heran bercampur senang karena harga sarapan nasi goreng di hotel itu hanya Rp. 100.000/porsi. Padahal menurutnya sarapan di hotel lain yang sekelas bisa mencapai Rp. 300.000/porsi. Ibu saya terbengong-bengong tak percaya. Bagi ibu saya, Rp. 100.000 itu sudah bisa digunakan untuk berbelanja ke pasar membeli keperluan makan sekeluarga selama seminggu (bahkan lebih). Menggunakan Rp. 100.000 hanya untuk sarapan, bagi beliau benar-benar pemborosan.
Yah...saya jadi menarik napas...begitulah manusia...
Kita menilai sesuatu berdasarkan pengalaman. Jika kita terbiasa melakukan dosa-dosa kecil, lama-lama dosa-dosa kecil itu jadi terasa tidak bernilai. Bahkan mungkin kita tak lagi merasa bersalah melakukan dosa-dosa kecil. Akibatnya bukan tak mungkin kita akan kita akan merasa dosa besar sebagai dosa kecil.
Jika kita terbiasa melakukan kebaikan-kebaikan kecil. Kebaikan-kebaikan kecil itu tentu makin lama makin terasa sebagai hal yang biasa hingga kita melakukannya tanpa merasa mengorbankan apa pun.
Jika demikian halnya, bukankah lebih baik terbiasa melakukan kebaikan-kebaikan besar? Sehingga kebaikan-kebaikan besar itu akan terasa sebagai kebaikan kecil yang tidak memerlukan balasan apa pun...Sehingga otak kita tak perlu repot memikirkan balasan yang pantas atas perbuatan baik kita...
Nesri Baidani
Saya jadi teringat cerita ibu saya mengenai salah seorang sahabatnya yang sudah sukses menjadi pengusaha. Sahabatnya itu menginap di salah satu hotel berbintang di Solo. Sang sahabat ini sangat heran bercampur senang karena harga sarapan nasi goreng di hotel itu hanya Rp. 100.000/porsi. Padahal menurutnya sarapan di hotel lain yang sekelas bisa mencapai Rp. 300.000/porsi. Ibu saya terbengong-bengong tak percaya. Bagi ibu saya, Rp. 100.000 itu sudah bisa digunakan untuk berbelanja ke pasar membeli keperluan makan sekeluarga selama seminggu (bahkan lebih). Menggunakan Rp. 100.000 hanya untuk sarapan, bagi beliau benar-benar pemborosan.
Yah...saya jadi menarik napas...begitulah manusia...
Kita menilai sesuatu berdasarkan pengalaman. Jika kita terbiasa melakukan dosa-dosa kecil, lama-lama dosa-dosa kecil itu jadi terasa tidak bernilai. Bahkan mungkin kita tak lagi merasa bersalah melakukan dosa-dosa kecil. Akibatnya bukan tak mungkin kita akan kita akan merasa dosa besar sebagai dosa kecil.
Jika kita terbiasa melakukan kebaikan-kebaikan kecil. Kebaikan-kebaikan kecil itu tentu makin lama makin terasa sebagai hal yang biasa hingga kita melakukannya tanpa merasa mengorbankan apa pun.
Jika demikian halnya, bukankah lebih baik terbiasa melakukan kebaikan-kebaikan besar? Sehingga kebaikan-kebaikan besar itu akan terasa sebagai kebaikan kecil yang tidak memerlukan balasan apa pun...Sehingga otak kita tak perlu repot memikirkan balasan yang pantas atas perbuatan baik kita...
Nesri Baidani
2 komentar:
Terima kasih bu Nesri
sama-sama pak...semoga bermanfaat...:)
Posting Komentar