Kisah si Pandir
Saya teringat saat kecil tentang kisah si Pandir. Pandir artinya bodoh. Nampaknya kosa kata ini sudah jarang kita temukan dalam kehidupan sehari – hari baik itu dalam percakapan maupun dalam literatur.
Mengapa dia disebut si Pandir? Antara lain kisahnya seperti ini….
Suatu hari ia disuruh oleh majikannya membeli korek api….
Pesan majikannya kepada si Pandir :
“ Tolong beli korek api di warung. Supaya kamu tahu korek apinya bagus coba kamu nyalakan koreknya . Jika menyala itu artinya koreknya bagus “
Pergilah ia ke warung. Setelah agak lama dinantikan, pulanglah ia..dengan wajah bersinar kegirangan ia pun melapor kepada majikannya.yg sempat khawatir karena warung itu sebenarnya sangat dekat
“ Tuan, saya membawakan korek api pesanan Tuan. Batang koreknya semuanya bagus tuan. Semuanya menyala ! “
Majikannya pun menggeleng – geleng kepala…gemas terhadap sifat si Pandir
“ Pantas dia lama baru kembali. Rupanya dia tadi mengetes semua korek api itu “ pikirnya….
Mengapa kita sebut dia pandir ? Jawabnya karena dia seharusnya cukup mengetes 1 atau 2 batang korek api. Dan itu sudah bisa mewakili keadaan korek api tersebut secara keseluruhan… Namun, sebenarnya siapakah yang bisa menjamin bahwa seluruh batang korek itu bagus. Bukankah bisa saja terjadi cuma 2 batang itu yang baik?
Tapi kita tetap menyebutnya pandir, karena dari pengalaman peluang seperti itu kecil. Si Pandir tidak bisa belajar dari fakta empiris… Bukankah saat kita hendak membeli sekarung beras, kita tak perlu melihat berasnya butir per butir tapi hanya melihat sampel dari beberapa bagian pada sekarung beras itu.. Saat mencicipi rasa masakan seorang ibu tidak harus menghabiskan seluruh masakannya bukan?,Tapi cukup 1 atau 2 sendok Adakah peluang pembeli beras salah dalam menilai beras dan ibu salah dalam menilai rasa masakannya dengan cara seperti itu ? Jawabanya Ya…tapi sangat kecil.
Tetapan Planck
Pertanyaannya mengapa ada peluang untuk salah seperti itu? Karena adanya sunnatulLah yang Allah tetapkan berupa adanya ketidakpastian yang di dalam fisika kuantum disebut ketidakpastian Heisenberg. Lantas mengapa nilai itu sangat kecil?
Penulis berpendapat itu karena sunnatulLah berupa tetapan planck yang sangat kecil yang disimbolkan dengan “h”. Adapun nilainya adalah h = 6,6 x 10-34 Js atau 0,00000000000000000000000000000000066 joule.sekon.
Penerapan tetapan planck sudah tentu bukan hanya pada persoalan ketidakpastian , namun juga antara lain pada dualisme antara partikel dan gelombang. Adanya tetapan planck menyebabkan setiap benda yang bergerak dapat memiliki sifat gelombang, dan sebaliknya setiap gelombang yang merambat memiliki sifat seperti partikel yang bergerak. Namun tetapan plank yang sangat kecil, menyebabkan hal itu hanya signifikan pada dunia mikro .
Kepastian dan ketidakpastian
Sebuah peluru yang ditembakkan dengan kelajuan tertentu dengan sudut tertentu, dan sebagainya kemudian setelah dihitung misalnya jangkauannya 10 km Fisika klasik akan menjawabnya pasti akan jatuh tepat 10 km, asalkan kondisi yang ideal dalam perhitungan itu terjadi. Namun fisika kuantum menjawab kemungkinan besar jatuhnya di posisi 10 km sekalipun kondisi ideal terjadi. Jika kita melepaskan sebuah gelas dari ketinggian 2 meter di atas lantai, fisika klasik akan menjawab pasti pecah, namun fisika kuantum akan menjawab kemungkinan besar pecah. Jika seorang dilumuri minyak tanah kemudian dilemparkan ke dalam api unggun yang besar, fisika klasik akan menjawab pasti terbakar namun fisika kuantum akan menjawab kemungkinan besar terbakar. Kata kemungkinan besar tentu berbeda dengan kata pasti. Kata kemungkinan besar mengisyaratkan adanya kemungkinan untuk meleset atau tidak terjadi, meski peluang itu amat kecil. Kemungkinan meleset ada karena tetapan planck tidak bernilai nol dan kemungkinan meleset sangat kecil karena tetapan planck sangat kecil.
SubhanalLah, Allah menetapkan tetapan – tetapan di Alam ini dengan sangat tepat. Apa yang tejadi jika tetapan planck bernilai ‘nol’ ? Segala hal menjadi pasti dan gampang diprediksi tak akan meleset. Semuanya bersifat homogen, tanpa variasi, dan tanpa kejutan. Manusia akan lebih jumawa karena semua prediksinya akan terjadi. Manusia akan cenderung melupakan Allah.
Namun jika tetapan planck bernilai lebih besar dari pada saat ini, maka ketidak pastian menjadi semakin besar. Segalanya menjadi sulit diprediksi. Manusia menjadi tidak bersemangat dalam berusaha, karena ketidakpastian yang besar. Manusia menjadi apatis
Seorang yang rajin belajar kemungkinan besar untuk lulus lebih besar dari pada yang malas belajar, meski tetap ada peluang yang malas belajar akan lulus dan pada saat bersamaan yg rajin belajar justru tidak lulus. Seorang yang berusaha lebih giat kemungkinan besar akan mendapat hasil lebih banyak dari pada yang kurang giat, meski ada peluang kecil untuk kemungkinan sebaliknya. Seorang ayah yang baik, mendidik anaknya dengan cara yang benar peluang untuk mendapat anak yang soleh dan taat lebih besar daripada seorang ayah yg jahat dan mendidik anak tidak benar, meski peluang anaknya menjadi seperti anak nabi Nuh juga bisa saja terjadi. Di sinilah manusia dituntut untuk berdoa kepada Allah menyertai ikhtiarnya dan pasrah menerima hasil apapun yang telah ditetapkan oleh Allah.
Sesungguhnya tetapan planck berlaku untuk materi – materi yang tak memiliki keinginan lain selain tunduk pada kehendak Allah melalui iradah kauniyah. Lain halnya manusia, manusia memiliki keinginan . Dalam menjalankan tugasnya sebagai hamba dan wakil Allah di muka bumi, manusia dituntut untuk patuh dengan iradah syar’iah sebagai pendamping iradah kauniyah agar selamat meski ada kebebasan untuk memilih seperti yang pernah diungkap pada bagian ketiga dari seri ini
(lihat : http://consulttamam.blogspot.com/2011/02/seri-pantaskah-kita-bersuudzon-kepada_2570.html) .
Iradah kauniyah dan iradah syar’iah harus terintegrasi karena keduanya bersumber dari Allah Maha Pencipta
Makan sebagai upaya melanjutkan kehidupan adalah suatu iradah kauniyah, namun makanan yang bagaimana dan cara mendapatkannya harus mengikuti iradah syar’iyah.
Dalam suatu negara mesti ada kekuasaan itu adalah iradah kauniyah, namun bagaimana cara mendapatkan dan menjalankannya harus sesuai dengan iradah syar’iah..Demikian seterusnya.
Manusia meski punya keinginan untuk menolak iradah dari Allah, namun darah yang mengalir di tubuhnya, jantungnya yangg berdegup, ototnya yangg bergerak, tulangnya yangg menyangga, otaknya yg berpikir dan memerintah anggota tubuh yang lain, semuanya tunduk kepada iradah kauniyah. … Artinya dalam kehidupan sosialpun seharusnya tetapan planck yg sangat kecil tetap berlaku jika kedua iradah ini bersanding.
Jika dalam kehidupan sehari – hari kita terlalu sering menemukan orang yang kadar kesalahannya lebih besar dihukum lebih ringan dari pada yang kadar kesalahannya lebih kecil, menurut pendapat penulis itu berarti telah terjadi pembesaran dari tetapan planck. Kejadian seperti itu harusnya amat sangat jarang terjadi jika manusia taat kepada iradah syar’iah. Pengingkaran terhadap iradah syar’iah berakibat membesarnya tetapan planck (atau tetapan apapun namanya) dalam kehidupan sosial. Ketidakpastian semakin membesar. Seorang yang kemampuannya pas pasan dan malas belajar bisa masuk perguruan tinggi ternama dan jurusan favorit, semakin sering terjadi. Seorang koruptor bisa terlepas dari jeratan hukum sementara seorang yang hanya memungut biji kakao bisa dikenai hukuman.
Tugas kita sebagai manusia adalah bagaimana menjaga nilai tetapan planck itu tetap sekecil sekarang dan tidak membesar dengan sekuat mungkin menaati iradah syar’iah dari Allah… Khususnya di Indonesia, kita tentu tidak mau tetapan planck menjadi semakin lama semakin membesar.
Apa jadinya jika Si Pandir menjadi Presiden RI ?
NaudzubilLah mindzalik ( Lihat juga kolom sebelah kiri blog ini)
Lantas bisakah tetapan planck itu bernilai nol ? Jawabnya “Ya”.
Apa yang dijanjikan oleh Allah semuanya pasti terjadi. Hanya dalam kacamata manusia ada ketidakpastian supaya manusia berusaha dan berharap. Allah tidak mengenal ketidakpastian. Segala hal yang dijanjikan oleh Allah semuanya pasti terjadi termasuk di dunia ini yang mungkin karena kelemahan indera dan nalar kita, kita tak mampu melihatnya. Apakah manusia suatu saat bisa menyaksikan hal itu? Ya ! Kapan? Saat di mana hijab di mata kita disingkap ( tetapan planck dinolkan) yang dimulai saat sakratul maut sampai dengan hari pembalasan
Surah Qaaf (50) ayat 22 artinya :
“ Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam “
Saat itulah balasan atas segala perbuatan semasa hidup diperlihatkan
Saat di mana tak ada manfaat lagi harta dan anak
Hari di mana mulut dikunci dan kaki tangan yang akan berbicara
Hari di mana tidak ada lagi suap menyuap
Di dunia bisa saja kita berbuat semaunya, tapi yakinlah suatu saat kita akan meninggalkannya. Di dunia kita bisa saja menjadi orang yg diuntungkan dengan besarnya tetapan planck aikbat kedurkahan yang massal terhadap iradah syar’iah. Demikian pula sebaliknya, kita mungkinmenjadi korban dari kedurkahan itu. Kita merasa dunia tidak adil kepada kita. Namun yakinlah bahwa dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Yang namanya permainan suatu saat akan berakhir.
“ Allahumma tuntun kami dalam setiap langkah kami
Ringankan saat kami menghadpi sakratul maut
Mudahkan kami melewati sirotal mustaqim
Naungi kami di padang masyhar saat tidak ada naungan selain dari naunganMu
Berikan kitab amal kami lewat tangan kanan kami
Masukkan kami ke dalam Jannah Mu yang penuh kenikmatan “
“ Amin ya Robbal Alamiin “
Bekasi “Dhuha” 14 Maret 2011
M Taufiq Tamam
artikel terkait :
http://www.facebook.com/notes/m-taufiq-takaful-tamam/seri-pantaskah-kita-bersuudzon-kepada-allah-bagian4tetapan-planck/209093555772908?notif_t=note_comment
Baca juga tentang Fiisika Partikel : Klik di sini
http://www.facebook.com/notes/m-taufiq-takaful-tamam/seri-pantaskah-kita-bersuudzon-kepada-allah-bagian4tetapan-planck/209093555772908?notif_t=note_comment
Baca juga tentang Fiisika Partikel : Klik di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar