Jumat, 28 Oktober 2011

Makna Kurban (Udhhiyah) di Hari Idul Adha


Share on Facebook
Sebentar lagi umat Islam akan merayakan Hari Idul Adha. Siapkah kita semua berkurban di hari itu? Bagaimana hukumnya?

Saya mencoba menguraikannya berdasarkan  tulisan dua sumber utama (lihat referensi) sebagai referensinya.

Menurut Syaikh ’Abdul ’Azhim Badawi dalam al-Wajîz fî Fiqhis Sunnah (hal. 402), kurban  adalah ternak yang disembelih pada hari nahar (kurban) dan hari-hari tasyrik dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt.

Di dalam al-Mausū’ah al-Fiqhîyah, bahwa  kurban adalah  ternak  yang disembelih dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt  pada hari nahar dengan syarat-syarat yang khusus. Tidaklah termasuk udhhiyah ternak yang disembelih tidak untuk tujuan mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti ternak yang disembelih untuk dijual, atau dimakan, ataupun untuk memuliakan tamu.Dan tidak termasuk udhhiyah pula ternak yang disembelih selain pada hari-hari ini  walaupun disembelih dengan tujuan mendekatkan diri  kepada Allah swt.
Secara bahasa al-Udhhiyah berasal dari kata  dhuha yang artinya pagi, dinamakan demikian karena Nabi yang mulia saw  biasa menyembelih hewan pada waktu dhuha.

Pensyariatan Al-Udhiyyah.

Dalam satu riwayat daripada Aisyah, disebutkan bahwa Nabi s.a.w bersabda : ”Tidaklah keturunan Adam melakukan suatu perbuatan pada hari nahr yang lebih dicintai Allah selain mengalirkan darah (menyembelih hewan kurban). Hewan sembelihan itu akan datang pada hari kiamat membawa tanduknya, kukunya, dan bulunya. Sesungguhnya darah hewan sembelihan itu sampai kepada Allah lebih dahulu daripada sampai ke tanah. Maka sucikanlah diri kamu dengannya.” (Riwayat Ibnu Majah dan At-Tarmizi).

Al-Allamah Al-Manawi  berkata, maksud  hadis tersebut adalah bahwa ibadah yang paling utama pada hari itu adalah mengalirkan darah (menyembelih hewan kurban), dan bahwa pada hari  kiamat kelak kurban itu akan datang sebagaimana adanya ia di dunia, tidak berkurang sedikit pun. Dan orang yang melakukan kurban itu akan diberi pahala dari setiap anggota tubuh hewan  kurbannya itu.
Al-Udhiyah disyariatkan secara  ijma’ menurut al-Kitab Dan as-Sunnah. Dalil al-Kitab diantaranya adalah, firman Allah :

“Maka shalatlah untuk Rabb-mu dan berkurbanlah.” (al- Kautsar : 2)
Diantara dalil sunnah akan disyariatkannya al-Udhiyah adalah, hadits shahih dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

Nabi saw berkurban dengan dua ekor kambing kibasy yang berwarna amlah dan bertanduk, yang beliau sembelih dengan tangan beliau sendiri dengan menyebut nama Allah dan bertakbir lalu meletakkan kaki beliau pada bagian kedua belikatnya.”
Hukum al-Udhhîyah

Hukumnya menurut pendapat yang terkuat adalah wajib bagi yang memiliki kemampuan, berdasarkan hadits Nabi saw:
Barangsiapa yang memiliki kelapangan (harta) namun tidak mau berkurban, maka janganlah ia sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” [Sahih Ibnu Majah (no. 2532)].

Hal ini menunjukkan bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu yang wajib hukumnya, seakan-akan tidak ada manfaatnya ia bertaqorrub kepada Allah dengan mengerjakan shalat namun ia meninggalkan kewajiban berkurban.

Dalil lainnya lagi adalah sabda Nabi saw, dari Jundub bin Sufyan al-Bajali radhiallahu ‘anhu beliau berkata :
“Saya melihat Nabi saw  pada hari nahar bersabda : Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat (‘id) maka hendaklah ia menyembelih hewan lainnya sebagai gantinya, dan barangsiapa yang belum menyembelih, hendaklah ia menyembelih.”[muttafaq ‘alaihi].

Imam asy-Syaukani di dalam  as-Sailul Jarrar (IV:44-45) menyatakan bahwa hadits di atas adalah hadits yang jelas menunjukkan akan wajibnya berkurban, apalagi ketika Nabi memerintahkan untuk mengulangi orang yang berkurban sebelum waktunya.

Namun jumhur ulama menjelaskan bahwa hukumnya adalah sunnah mu’akkadah, sebagaimana diterangkan di dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah. Diantara mereka yang berpendapat ini adalah as-Syafi’iyah dan al-Hanabilah, pendapat terkuat dari pendapat Malik dan salah satu riwayat dari Abu Yūsuf. Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakr, ‘Umar, Bilal, Abi Mas’ud al-Badri, Suwaid bin Ghoflah,Sa’id bin al Musayyib,‘Atha’ , ‘Alqomah, al-Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir. Mereka beristidlal dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan kalian berkeinginan untuk berkurban, maka janganlah ia menyentuh (mengambil) rambut dan kukunya sedikitpun.”

Sisi pendalilannya adalah ucapan Nabi ( وأراد أحدكم ) “jika kalian berkeinginan” yang menunjukkan hal ini diserahkan kepada kehendak. Apabila berkurban itu wajib, niscaya sabda Nabi akan menjadi :
“Janganlah menyentuh rambutnya sedikitpun sampai berkurban dengannya.”
Diantara dalilnya pula adalah, bahwa Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, tidak berkurban pada satu atau dua tahun, dengan alasan khawatir manusia menganggapnya sebagai suatu kewajiban. Perbuatan kedua orang yang mulia ini menunjukkan bahwa keduanya mengetahui bahwa Rasulullah tidak mewajibkannya, dan tidak pula ada seorang sahabatpun yang menyelisihi hal ini.

Menurut Imam Syafie, hukum kurban juga sunat muakkad yang amat dituntut kepada mereka yang mampu termasuk jemaah haji yang berada di Mina dan terutama umat Islam yang berada di kampung halamannya sendiri, karena ia adalah amalan yang amat dikasihi Allah pada hari nahr.

Hikmah Kurban

Amalan berkurban dalah  sebagian usaha mendekatkan diri kepada Allah s.w.t dan mendekatkan hubungan antara manusia dengan Allah ini dikenal sebagai amaliah yang bersifat vertikal. Ibadah penyembelihan kurban juga meningkatkan hubungan antara manusia dengan manusia melalui pembagian daging kurban terutama kepada golongan fakir dan miskin (hubungan horizontal). Ini sebagai petunjuk bahwa takwa yang bersifat personal dan vertikal  tidak terpisah satu dengan yang lain.  Justru, amal sosial seperti kurban  harus didasarkan kepada Allah. Melalui  ibadah kurban inilah terselip makna yang mendalam  bahwa manusia memerlukan pengorbanan dalam  menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ibadah kurban memanifestasikan rasa syukur dan puncak takwa. Ia sebagai tanda kembalinya manusia kepada Allah s.w.t  setelah menghadapi ujian. Kurban disyariatkan bagi manusia bahwa jalan menuju  kebahagiaan memerlukan pengorbanan. Yang dikorbankan adalah hewan  sebagai simbol bahwa pengorbanan  harus ditunaikan.  Ya, untuk mencapai takwa dibutuhkan pengorbanan bukan hanya pada hari nahr tetapi setiap saat. Pengorbanan itu harus karena Allah swt semata, bukan dikarenakan hal  lainnya.

Allah s.w.t berfirman:  ”Daging dan darah binatang kurban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan takwa daripada kamu.” (Al-Hajj: 37).

Referensi:
  1.  http://syedosram.blogspot.com/2009/11/pengertian-kurban-dan-hukumnya.html
  2. http://ummatanwasatan.net/2008/12/menghayati-makna-kurban-sebenar/

Tidak ada komentar: