Kamis, 14 April 2011

DIBALIK FENOMENA HUJAN ULAT BULU

“Maka Kami kirimkan kepada mereka topan (thûfân), belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (QS. 7: 133)

Jadi, apa yang terjadi di zaman sekarang bukanlah sesuatu fenomena baru dan menganehkan. Zaman dahulu, sebagai bukti bagi orang yang ingkar kepada Tuhan, Allah sudah tampakkan kuasa-Nya. Hanya orang-orang yang sadar dan berpikir yang dapat mengambil pelajaran.

Sedangkan hujan hewan terjadi pada Juni 2009 di Jepang. Hewan ini memiliki panjang dengan diameter 5 cm berbentuk seperti ikan dan kodok, sejauh ini tidak ada yang dapat menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi. Beberapa orang menyebutkan ini merupakan fenomena langka yang pernah terjadi yang diakibatkan perubahan cuaca yang tidak menentu di negara sakura ini. Bagian meteorologi Jepang juga tidak dapat menjelaskan apa penyebab terjadinya hal tersebut.

Beberapa orang yang seperti menuhankan ilmu pengetahuan menyebutnya sebagai fenomena alam. Saya tidak menolak adanya proses alam, karena hal itu sesuatu yang natural dan sudah menjadi ketetapan-Nya. Istilah agama menyebutnya sunatullah. Tapi terkadang, kita melupakan sumber segala sebab musabab dan sumber segala sesuatu, yakni Tuhan semesta alam. Apa yang hendak ditampakkan adalah Kekuasaan-Nya yang maha dan tunggal. Agar kita, manusia, tidak lagi sombong dengan menuhankan segala ilmu pengetahuan alam dan melupakan adanya Pencipta alam.



Meski sudah terjadi beberapa tahun yang lalu, fenomena hujan berwarna merah kembali ramai dibicarakan. Di India, para penduduk lokal daerah Kerala menemukan baju-baju yang dijemur berubah warna menjadi merah seperti darah. Mereka melaporkan adanya bunyi ledakan dan cahaya terang yang mendahului turunnya hujan yang dipercaya sebagai ledakan meteor.


Contoh air hujan tersebut segera dibawa untuk diteliti oleh ilmuwan independen, Godfrey Louis dan Santosh Kumara dari Universitas Mahatma Gandhi. Pertama kali mereka mengira bahwa partikel merah di dalam air adalah partikel pasir yang terbawa dari gurun Arab.



Siapa yang mesti disalahkan?

Kita kembali kepada penyelenggara negara. Sistem demokrasi yang kita anut, proses perubahan dari orde baru ke orde reformasi sedikit banyak memberikan pelajaran menuju kedewasaan berpolitik. Masing-masing pihak tidak mau ketinggalan untuk merebut kekuasaan, menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, tetapi sendi-sendi dasar yang seharusnya menjadi prioritas, karena menyangkut kepentingan bangsa diabaikan

Harusnya kita malu sama Allah SWT dan senantiasa bersyukur dan meninggikan kalimat - Nya, bumi yang tengah kita pijak yang tercinta ini. Negeri ini begitu kaya, semua yang kita inginkan nyaris ada. Dengan dua musim, tapi dua musim ini tak membuat kita bersyukur dan justru malah terlena.

Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).(HR Muslim 3445)

Dengan jelas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyatakan bahwa orang yang membenci para pemimpin yang zalim dan fasiq itu akan terbebaskan dari tanggungan dosa. Orang yang tidak menyetujui mereka akan selamat. Berarti hadits ini menegaskan sikap yang semestinya dimiliki seorang mukmin ketika berhadapan dengan pemimpin yang memiliki penyimpangan akhlak. Berbeda sekali dengan anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa di dalam ajaran Islam bagaimanapun perilaku seorang pemimpin ummat harus tetap mematuhinya dan menganggapnya sebagai ulil amri minkum (pemegang urusan di kalangan orang-orang beriman). Hadits ini jelas membantah anggapan naif tersebut.

Lalu dengan tegas Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan mereka yang rela dan mematuhi para pemimpin zalim dan fasiq itu. Beliau mengatakan bahwa ”Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan(dari tanggungan dosa).” Di sinilah ajaran Islam memandang bahwa urusan menyerahkan loyalitas dan kepatuhan bukanlah perkara ringan. Sebab tidak saja si pemimpin berdosa karena kezaliman dan kefasikannya. Tetapi rakyat ikut menanggung dosa juga bila mereka tetap rela atas kezaliman dan kefasikan pemimpin tersebut, apalagi kemudian mematuhinya. Sehingga Allah melarang seorang beriman untuk mentaati siapapun dan apapun tanpa ilmu dan kesadaran akan mana yang benar dan mana yang batil.

وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al-Israa 36)

Namun suatu hal yang memang Nabi shollallahu ’alaih wa sallam juga anjurkan ialah agar ummat jangan berfikiran untuk memeranginya selagi si pemimpin tersebut masih sholat. Menarik untuk diperhatikan ialah pandangan Imam Nawawi mengomentari potongan hadits ini ”Apakah kami perangi mereka?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Tidak, selagi mereka masih sholat.” Beliau menulis sebagai berikut:

وَأَمَّا قَوْله : ( أَفَلَا نُقَاتِلهُمْ ؟ قَالَ : لَا ، مَا صَلَّوْا )
فَفِيهِ مَعْنَى مَا سَبَقَ أَنَّهُ لَا يَجُوز الْخُرُوج عَلَى الْخُلَفَاء
بِمُجَرَّدِ الظُّلْم أَوْ الْفِسْق مَا لَمْ يُغَيِّرُوا شَيْئًا مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام .

Maknanya ialah tidak dibenarkan keluar dari kepemimpinan khilafah hanya semata berdasarkan kezaliman dan kefasiqan selama para pemimpin itu tidak merubah sesauatupun dari kaedah-kaedah Al-Islam.

Ulama salaf ini dengan jelas sekali menggaris-bawahi bahwa selagi pemimpin masih menegakkan secara formal sistem kekhalifahan dan tidak merubah sesuatupun dari kaedah kaedah ajaran Al-Islam, maka tidak dibenarkan bagi seorang mukmin meninggalkan atau keluar dari kepemimpinan tersebut, walaupun akhlaq pemimpinnya zalim dan fasiq.

Saudaraku, permasalahan kita ummat Islam dewasa ini adalah bahwa bukan saja negeri-negeri Islam dipimpin oleh sebagian besar pemimpin yang berkepribadian zalim dan fasiq, tetapi sudah jelas mereka tidak menegakkan sistem kekhalifahan dan bahkan nyata benar bahwa kaedah-kaedah Islam telah banyak yang dirubah, baik oleh sang pemimpin tertinggi maupun oleh kepemimpinan kolektif kolaborasi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Untuk membuktikan kebenaran sinyalemen di atas tidaklah sulit. Karena dalam realitas keseharian terlalu banyak contoh kasus yang membenarkannya daripada membantahnya. Sungguh benarlah kita dewasa ini sedang menjalani masa fitnah sebagaimana telah disinyalir Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam.

بَادِرُوا فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي
كَافِرًا وَيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bersegeralah beramal sebelum datangnya fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki diwaktu pagi masih mukmin dan diwaktu sore telah kafir, dan diwaktu sore masih beriman dan paginya sudah menjadi kafir, ia menjual agamanya demi kesenangan dunia.“(HR Ahmad 8493)

MAJELIS TAUSIAH PARA KYAI & USTADZ INDONESIA

Tidak ada komentar: