Sabtu, 05 Maret 2011

DIALOG DUA SAHABAT TENTANG AHMADIYAH

Syahdan… Gara-gara Gubernur Jawa Timur dan Jawa Barat mengeluarkan Surat Keputusan pelarangan kegiatan Ahmadiyah di wilayahnya, sejumlah aktivis HAM sekuler di Indonesia tersulut amarahnya. Perjuangan mereka untuk menegakkan prinsip kebebasan beragama ala Barat menjadi terhambat. Meskipun begitu, mereka juga bersorak, karena mempunyai bahan untuk berkampanye ke luar negeri, bahwa Indonesia adalah Negara yang jahat, karena tidak memberikan kebebasan beragama kepada kelompok –kelompok minoritas yang dianggap sesat oleh umat Islam.
Nurkalis, seorang pegiat HAM sekuler, tidak dapat lagi menahan amarahnya, setelah Gubernur Jawa Barat juga mengeluarkan SK pelarangan Ahmadiyah, menyusul SK serupa yang dikeluarkan Gubernur Jawa Timur. Tak tahan dengan gejolak dalam dadanya, Nurkalis menghubungi sahabatnya, Nur-Kholis. “Kita harus ketemu dan bicara serius, Kholis. Ini pasti kerjaan orang-orang MUI yang mendesak-desak pemerintah untuk melarang Ahmadiyah. SK-SK ini sangat tidak manusiawi, saya akan melawan habis-habisan,” kata Nurkalis, di ujung telepon.
“Memangnya kenapa? Kayak kamu orang Ahmadiyah saja… Sedangkan yang Ahmadiyah saja tidak ribut, kok kamu yang ribut,” jawab Kholish.
“Saya tidak habis pikir, kenapa Gubernur Jawa Timur dan Jawa Barat setega itu dalam membantai orang Ahmadiyah,” kata Nurkalis.
“Apa kamu sudah baca isi surat keputusan gubernur itu secara lengkap?” kata Nur-Kholis.
“Sudah… kita ketemu saja di kantin kampus. Biar tuntas masalahnya, saya ingin kamu sadar, bahwa pikiran-pikiranmu tentang Ahmadiyah itu sangat membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mau jadi apa negara ini, kalau cara berpikir pemimpinnya seperti ini. Saya tunggu ya Kholis. Jangan lama-lama,” kata Nurkalis, dengan suara bernada kegeraman.
Nur-Kholis kenal betul pribadi dan pikiran sahabatnya ini. Sejak kecil mereka sudah bermain bersama, sampai menempuh kuliah yang sama di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Jakarta. Nama mereka pun kebetulah juga mirip. Belasan tahun mereka berteman akrab. Meskipun tetap berteman, dua tahun belakangan ini, Nurkalis tampak sangat aktif dalam sebuah LSM bernama ES-TARA Institute yang aktif dalam menyuarakan jargon kebebasan beragama. Entah apa motifnya. Nur-Kholis tidak tahu pasti. Nurkalis pun enggan bercerita soal aktivitas barunya. Ia pun enggan melayani pertanyaan-pertanyaan Nur-Kholis seputar aktivitas barunya. Sepertinya, ada perasaan malu atau perasaan bersalah pada diri Nurkalis.
Nur-Kholis merasakan ada yang aneh dengan tindakan Nurkalis, yang biasanya tertutup, sekarang menjadi terbuka. Bahkan menantang debat. Maka, tanpa pikir panjag, ia menyanggupi ajakan dialog sahabatnya itu di kantin Kampus.
*****
Nurkalis sudah menunggu di kantin, saat Nur-Kholis tiba di sana. Belum sempat ia duduk sempurna, Nurkalis sudah membanting lembaran kertas di meja kantin. “Ini baca! Jelas isinya mengekang kebebasan beragama, bahkan membunuh kebebasan beragama. Ini kan melanggar HAM. Katanya kita menghormati HAM, bagaimana ini Kholish, teman-temanmu orang-orang radikal itu yang berhasil mempengaruhi dan menekan pemerintah, sehingga mengeluarkan keputusan yang sangat tidak masuk akal ini,” kata Nurkalis.
“Kalis, Kalis…. Mengapa menjadi begini cara berpikir kamu? Kamu lebih mengedepankan HAM, HAM, HAM, kebebasan,… apa tidak ada argumentasi lain yang lebih baik. Kitab suci kamu itu al-Quran atau Deklarasi HAM?”
“Jangan kemana-mana Kholis. Kita kembali ke pokok masalah, kan orang Ahmadiyah juga mempunyai hak-hak konstitusional sebagai warga Negara Indonesia. Mereka kan juga manusia? Ya k an? Mengapa keyakinan mereka tidak kita hormati, mereka punya hak untuk berkeyakinan dan beragama?”
“Kalau mereka dan kamu mengaku warga negara Indonesia, ya taati peraturan dong! Kan ada undang-undang yang mengatur soal kebebasan beragama. Ada UU No 1/PNPS/1965 tentang larangan melakukan penodaan agama. Bukankah UU itu sudah begitu gamblang menjelaskan bahwa siapa pun yang menyebarkan aliran atau paham yang menyerupai ajaran-ajaran pokok agama yang diakui di Indonesia maka itu merupakan penodaan agama?”
“UU itu sendiri jelas-jelas melanggar prinsip HAM dan kebebasan beragama!” Nurkalis menukas sahabatnya.
“Bukankah UU itu sudah pernah digugat oleh beberapa tokoh liberal dan gugatan itu pun sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi? Kamu mengaku warga Negara yang baik, tetapi tidak mau menghormati Undang-undang. Warga Negara cap apa kamu ini?”
“Saya berpegang pada prinsip kebebasan. Kalau negara tidak menjamin kebebasan warganya untuk beragama, maka negara itu jelas salah. Bukankah Ahmadiyah tidak mengganggu orang lain; dia menjalankan ibadah menurut keyakinannya sendiri. Kenapa tidak kita hormati, kenapa malah dilarang?”
“Oke, Kalis, ,… ayo kita diskusi serius soal kebebasan… saya layani sampai kapan pun dan dimana pun. Sejak kamu aktif di ES-TARA Institute, sepertinya logika kamu jadi berubah, terbalik-balik, bahkan keblinger. Sayang, …. Kamu ini dasarnya baik. Tapi karena keliru berpikir, jadi tersesat. Tidak sadar, kamu sudah menjalani proses cuci otak.”
“Okelah. Jangan sok menggurui saya. Kita sama-sama mahasiswa. Setuju nggak bahwa kebebasan adalah hak dasar manusia?”
“Kebebasan yang mana dulu? Kebebasan yang kebablasan harus dilarang. Kebebasan ada batasnya.”
“Ya… batasannya adalah tidak mengganggu orang lain. Ahmadiyah kan tidak mengganggu orang lain, kenapa harus dilarang?”
“Kamu salah berpikir! Orang yang memakai narkoba untuk dirinya sendiri juga tidak mengganggu orang lain, kenapa memakai narkoba dilarang? Kenapa kamu tidak protes? Orang yang mabuk-mabukan untuk dirinya sendiri, juga tidak mengganggu orang lain, kenapa juga dilarang? Orang yang telanjang di jalan, di kampus, di muka umum, juga tidak mengganggu orang lain, kenapa juga dilarang? Di satu negara Barat, saya tahu, kalau ada orang berdemonstrasi telanjang bulat di jalan raya juga ditangkap polisi, kenapa begitu? Saya pernah membaca, di Jerman ada wanita penumpang bus diturunkan oleh sopir karena berpakaian tidak sopan, sehingga menggangu konsentrasi sopir. Tindakan sopir itu dibenarkan oleh perusahaannya. Jadi, kebebasan itu jelas ada batasnya? Itu di negara yang mengkampanyekan kebebasan. Apalagi di Indonesia, Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
“Kamu jangan kemana-mana! Ini masalah kebebasan beragama. Siapa yang berhak menentukan agama yang benar? Kan semua punya hak memeluk agama masing-masing, karena semua merasa benar. Setiap kepercayaan harus dihormati. Itu dijamin konstitusi.”
“Kalis… Kamu ingat kan kasus aliran Children of God. Kelompok ini mempunyai ajaran bahwa seks bebas adalah hal yang baik, karena saling berbagi kasih saying. Mereka saling menyayangi dan tidak mengganggu. Bahkan saling menyenangkan. Kenapa saat dilarang oleh pemerintah, kamu juga tidak protes. Kamu juga setuju. Kenapa!?”
“Kita bicara kelompok keagamaan!”
“Children of God juga kelompok agama. Mereka pun mendasarkan ajaran-ajarannya pada ayat-ayat tertentu dari Kitab agama tertentu tentang kasih sayang. Dan jelas mereka tidak mengganggu orang! Apa kelompok itu harus dibiarkan berkembang di tengah masyarakat?”
“Tapi Ahmadiyah ini lain… Mereka hanya mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi. Kalau kita tidak setuju, ya biarkan saja, Nanti masyarakat juga akan dapat menilai benar dan salahnya. Kalau memang salah, kan tidak diikuti.”
“Komunis itu jelas salah, tapi yang ikut milyaran orang. Untuk tahu kebobrokan komunis, butuh waktu panjang dan ratusan juta manusia harus mati terlebih dahulu. Apa seperti itu yang kamu inginkan? Kamu saja, yang sudah kuliah di Perguruan Tinggi Islam, tidak tahu di mana kerusakan Ahmadiyah, sehingga kamu minta dia dibiarkan dan tidak perlu dilarang!”
Kalis terdiam. Logikanya tidak jalan lagi. Toh, ia hanya berucap lirih, “Tapi, mereka kan manusia. Apa kamu tidak kasihan mereka diburu-buru dan rumah mereka diserang?”
“Makanya, supaya tidak terjadi peristiwa seperti itu lagi, kebijakan Gubernur Jawa Timur dan Jawa Barat sudah tepat, dengan menertibkan dan melarang Ahmadiyah. Itu sangat bijak. Namanya pengobatan, terkadang pahit dan tidak disukai oleh kuman.”
“Kamu keterlaluan menyamakan Ahmadiyah dengan penyakit… Kitab mereka juga al-Quran, Nabinya juga Muhammad, shalat mereka sama dengan kita. Bukankah sebagai Muslim kita harus menusiawi?”
“Kalis… cobalah baca buku-buku Ahmadiyah. Jelas sekali mereka menganggap orang Islam seperti kita ini adalah sebagai “orang-orang yang belum beriman”, sehingga mereka tidak mau shalat dengan kita.”
“Tapi, apa mereka harus dikeluarkan dari Islam. Apa kamu tega mengeluarkan meeka dari Islam?”
“Lho, sejak kapan Ahmadiyah masuk ke dalam Islam? Kalau kamu baca buku-buku mereka, amat sangat jelas bahwa mereka selalu menempatkan dirinya di luar Islam. Karena itulah, sepertinya umat Islam tidak pernah mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam; Ahmadiyah itu sendiri yang menempatkan dirinya di luar Islam.”
“Okelah… tapi apa setelah SK Gubernur itu dikeluarkan, orang-orang Ahmadiyah harus dusir dari Indonesia?”
“Jelas tidak. Mereka hanya dilarang untuk menyebarkan ajarannya yang jelas-jelas salah dan sesat, karena mengakui Ghulam Ahmad sebagai nabi. Ajaran seperti itu tidak patut dikembangkan di Indonesia. Jika secara individu mereka meyakini ajaran semacam itu, ya itu untuk dirinya sendiri. Kita berharap, lama-lama Indonesia bebas dari ajaran sesat semacam ini.”
“Kamu sangat egois dan sok bener sendiri, padahal yang tahu kebenaran hanya Tuhan.”
“Kalau kamu tidak tahu kebenaran, tidak usah bicara! Diam saja! Kamu tidak tahu, kenapa bicara? Kalau saya sudah tahu kebenaran, karena Allah sudah memberitahukan kebenaran melalui nabi-Nya, yang akhirnya sampai kepada saya. Kalau kamu tidak tahu kebenaran, sungguh kasihan, sudah kuliah tinggi-tinggi tidak tahu kebenaran. Jadi, kalau tidak tahu, jangan ngomong!”
“Ah susah ngomong sama kamu! Pokoknya saya tidak setuju pada SK Gubernur yang melarang Ahmadiyah. Titik!” Nurkalis menukas sambil angkat kaki dari kantin.
Nurcholis hanya terbengong-bengong menatap kepergian sahabatnya. Ia lalu berdoa: “Ya Allah berikanlah petunjuk-Mu kepada sahabatku!”

copas dari:
http://www.dakta.com/catatan-akhir-pekan/8607/dialog-dua-sahabat-tentang-ahmadiyah.html

Tidak ada komentar: